Hari Raya Galungan adalah salah satu perayaan terpenting dalam tradisi Hindu di Bali. Dirayakan setiap enam bulan sekali, Galungan menandai kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan).
Perayaan ini tidak hanya memiliki makna spiritual yang dalam, tetapi juga merupakan momen untuk berkumpul dengan keluarga, memperkuat ikatan sosial, dan merayakan budaya Bali yang kaya. Disini ZONA INDONESIA akan membahas Sejarah danTradisi Galungan, serta Makna Filosofis dalam Hari Raya Galungan ini.
Sejarah dan Asal Usul Galungan
Galungan memiliki akar sejarah yang dalam. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, perayaan ini pertama kali dirayakan pada tahun 882 Masehi, tepatnya pada hari Purnama Kapat (Budha Kliwon Dungulan). Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang berarti “bertarung” atau “menang.” Dalam konteks ini, Galungan melambangkan pertarungan antara kebaikan (dharma) dan kejahatan (adharma).
Legenda yang sering dikaitkan dengan Galungan adalah kisah Raja Mayadenawa, seorang raja yang sombong dan menolak menyembah dewa-dewa. Akibatnya, ia dikalahkan oleh Dewa Indra, yang kemudian memulihkan keseimbangan dan keadilan di dunia. Kisah ini menjadi simbol kemenangan kebenaran atas kejahatan, yang dirayakan dalam Galungan.
Ritual dan Tradisi Galungan
Galungan bukan hanya satu hari perayaan, tetapi serangkaian ritual yang dimulai beberapa hari sebelumnya. Berikut adalah beberapa tradisi utama yang dilakukan selama Galungan:
1. Penyekeban
Penyekeban adalah hari pertama dalam rangkaian Galungan, yang jatuh tiga hari sebelum hari utama. Pada hari ini, umat Hindu di Bali mempersiapkan diri secara spiritual dengan mengekang diri dari hal-hal yang tidak baik. Penyekeban juga menjadi waktu untuk mempersiapkan bahan-bahan yang akan digunakan dalam upacara, seperti kelapa yang akan dijadikan minyak untuk persembahan.
2. Penampahan
Penampahan adalah hari kedua, yang jatuh sehari sebelum Galungan. Hari ini dianggap sebagai waktu untuk “memotong” segala hal negatif dalam diri. Secara harfiah, “penampahan” berarti penyembelihan, dan pada hari ini, masyarakat Bali biasanya menyembelih babi sebagai bagian dari upacara. Daging babi kemudian digunakan untuk membuat berbagai hidangan tradisional, seperti lawar dan sate.
Selain itu, pada hari Penampahan, umat juga sibuk membuat penjor, yaitu bambu yang dihias dengan berbagai ornamen seperti janur, buah-buahan, dan bunga. Penjor dipasang di tepi jalan dan di depan rumah sebagai simbol persembahan kepada Sang Hyang Widhi (Tuhan) dan sebagai ungkapan syukur atas kemakmuran yang diberikan.
3. Hari Galungan
Hari Galungan adalah puncak perayaan. Pada hari ini, umat Hindu di Bali melakukan persembahyangan di pura dan di rumah masing-masing. Mereka mengenakan pakaian adat yang indah dan menghaturkan banten (sesaji) berupa makanan, bunga, dan dupa kepada Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara.
Tradisi “pulang kampung” juga sangat umum selama Galungan. Orang-orang yang merantau kembali ke kampung halaman untuk merayakan bersama keluarga. Ini menjadi momen penting untuk mempererat ikatan keluarga dan menjaga tradisi turun-temurun.
4. Manis Galungan
Sehari setelah Galungan, umat merayakan Manis Galungan. Hari ini diisi dengan kegiatan bersantai dan bersilaturahmi dengan keluarga dan tetangga. Banyak orang juga mengunjungi tempat-tempat wisata atau berlibur bersama keluarga.
Baca Juga: Mengenal Hari Raya Nyepi dan Festival-Festivalnya
Makna Filosofis Galungan
Galungan bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga memiliki makna filosofis yang mendalam. Perayaan ini mengajarkan umat Hindu untuk:
- Membedakan Dharma dan Adharma: Galungan mengingatkan umat untuk selalu memilih jalan kebenaran dan menjauhi kejahatan.
- Menyatukan Kekuatan Rohani: Melalui berbagai ritual, umat memperku atkan iman dan spiritualitas, sehingga dapat mencapai kebahagiaan sejati.
- Menghormati Leluhur: Galungan juga menjadi momen untuk mengenang dan menghormati para leluhur yang telah mendahului, sebagai bentuk penghargaan atas warisan yang mereka tinggalkan.
Kuningan, Hari Penutup Galungan
Setelah Galungan, umat merayakan Kuningan, yang jatuh 10 hari setelahnya. Kuningan adalah hari untuk menghormati para leluhur dan dewa-dewi. Pada hari ini, umat melakukan persembahan khusus dan menghindari melakukan ritual setelah tengah hari.
Karena diyakini bahwa para dewa telah kembali ke kahyangan. Kuningan juga menjadi waktu untuk merenungkan kembali nilai-nilai yang diajarkan oleh para leluhur dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Perayaan Galungan di Berbagai Daerah
Meskipun Galungan dirayakan di seluruh Bali, setiap daerah memiliki cara dan tradisi unik dalam merayakannya. Di beberapa daerah, misalnya, terdapat variasi dalam jenis makanan yang disajikan atau cara menghias penjor. Hal ini menunjukkan kekayaan budaya Bali yang beragam dan bagaimana setiap komunitas menginterpretasikan makna Galungan sesuai dengan kearifan lokal mereka.
Galungan Dalam Konteks Modern
Di era modern ini, perayaan Galungan tetap dipertahankan meskipun ada banyak perubahan dalam gaya hidup masyarakat. Banyak orang yang merantau ke kota besar untuk bekerja, tetapi mereka tetap berusaha untuk pulang dan merayakan Galungan bersama keluarga.
Media sosial juga memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi tentang Galungan, memungkinkan orang-orang yang jauh untuk tetap terhubung dengan tradisi dan keluarga mereka.
Kesimpulan
Hari Raya Galungan adalah perayaan yang kaya akan makna dan tradisi. Melalui berbagai ritual dan kegiatan, umat Hindu di Bali merayakan kemenangan dharma atas adharma, memperkuat ikatan keluarga, dan menjaga warisan budaya yang telah ada selama berabad-abad.
Galungan bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga merupakan momen untuk merenungkan nilai-nilai kehidupan dan spiritualitas yang mendalam. Dengan tetap melestarikan tradisi ini, masyarakat Bali tidak hanya merayakan sejarah mereka, tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik dengan mengedepankan nilai-nilai kebaikan dan keadilan.
Simak dan ikuti terus ZONA INDONESIA agar Anda tidak ketinggalan informasi menarik lainnya, yang terupdate setiap hari.