Pendidikan zaman kolonial hanya terbuka bagi golongan tertentu. Sekolah jadi alat penjajahan, bukan pemberdayaan.

Pada masa penjajahan Belanda, pendidikan bukan hak semua orang. Hanya mereka yang dianggap “berkelas” bisa mengenyam bangku sekolah. Selebihnya, dibiarkan buta huruf dan tak berdaya. Dibawah ini ZONA INDONESIA akan mengulas lebih lanjut tentang kondisi pendidikan zaman Kolonial.
Sistem Kasta Dalam Pendidikan Kolonial
Sistem pendidikan yang diterapkan Belanda di Hindia Timur (Indonesia) bukan hanya tentang ilmu, tetapi juga alat untuk mempertahankan kekuasaan. Pemerintah kolonial secara terang-terangan membuat struktur pendidikan berjenjang yang membedakan murid berdasarkan ras dan status sosial. Anak-anak Eropa mendapat akses terbaik, sementara pribumi hanya boleh belajar di tingkatan rendah dan terbatas.
Struktur pendidikan ini menciptakan semacam kasta intelektual. Anak-anak Belanda dan Indo-Eropa menempuh pendidikan di sekolah-sekolah elit dengan kurikulum modern, fasilitas lengkap, dan guru berkualitas tinggi. Di sisi lain, anak-anak pribumi—bahkan yang berbakat sering tertinggal karena tidak diberi kesempatan yang sama.
Kondisi ini membuat pendidikan bukan jalan mobilitas sosial, melainkan alat untuk membatasi pergerakan. Hanya anak priyayi, atau pribumi kelas atas yang dekat dengan Belanda, yang diizinkan masuk ke sekolah lebih tinggi. Rakyat biasa hanya bisa bermimpi belajar baca tulis.
Jenis dan Nama Sekolah Kolonial
Pemerintah kolonial mendirikan berbagai jenis sekolah yang dibedakan berdasarkan target siswanya. Untuk anak-anak Eropa, ada ELS (Europeesche Lagere School), sekolah dasar dengan standar tinggi. Untuk anak pribumi kelas atas, tersedia HIS (Hollandsch-Inlandsche School) sekolah dasar yang memakai bahasa Belanda tapi dengan standar lebih rendah dibanding ELS.
Setelah HIS, jika mampu melanjutkan, anak-anak bisa masuk MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), semacam SMP. Lebih lanjut ada AMS (Algemeene Middelbare School) untuk jenjang SMA. Namun jumlah murid pribumi di jenjang ini sangat sedikit.
Khusus untuk pendidikan kedokteran, tersedia STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Di sinilah tokoh-tokoh seperti dr. Soetomo dan Tjipto Mangunkusumo dilahirkan. Meski demikian, pendidikan tetap dikontrol Belanda: lulusannya diharapkan menjadi pelayan, bukan pemimpin.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia
Pribumi dan Kesulitan Mengakses Sekolah

Mayoritas masyarakat Indonesia yang hidup di pedesaan atau dari kalangan buruh dan petani tidak memiliki akses ke pendidikan. Sekolah terlalu jauh, biaya terlalu mahal, dan syarat pendaftarannya pun berat. Bahkan, banyak dari mereka tidak tahu bahwa sekolah itu ada, karena informasi tidak sampai ke kampung.
Kalaupun ada keinginan untuk belajar, mereka harus bersaing dengan anak-anak priyayi yang lebih diutamakan. Penjajahan membuat pendidikan menjadi simbol status sosial, bukan alat pemberdayaan rakyat. Akibatnya, buta huruf menjadi masalah nasional yang berkepanjangan hingga masa awal kemerdekaan.
Anak-anak dari keluarga sederhana yang ingin sekolah kadang harus menjadi pelayan di rumah priyayi atau Belanda dulu, demi diberi kesempatan ikut belajar. Ini menggambarkan betapa pendidikan tidak netral ia mengikuti arus kekuasaan.
Taman Siswa dan Lembaga Pendidikan Alternatif
Melihat ketimpangan itu, muncul gerakan pendidikan mandiri dari kaum pribumi sendiri. Salah satu yang paling terkenal adalah Taman Siswa, didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tahun 1922. Sekolah ini bertujuan memberi akses belajar bagi semua anak tanpa memandang status sosial.
Selain mengajarkan ilmu pengetahuan, Taman Siswa juga menanamkan nilai kebangsaan dan budaya Indonesia. Sekolah ini menjadi bentuk perlawanan terhadap dominasi sistem pendidikan kolonial yang elitis dan meminggirkan rakyat kecil.
Lahirnya Kaum Intelektual Pergerakan
Meski akses pendidikan terbatas, sebagian kecil pribumi berhasil menembus sistem dan menjadi tokoh penting kemerdekaan. Tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka memanfaatkan ilmu dari sekolah Belanda untuk menyusun strategi perlawanan dan membangun kesadaran nasional.
Dengan pengetahuan dan kemampuan menulis serta berbicara, mereka mengorganisasi pergerakan rakyat. Pendidikan yang dimaksudkan sebagai alat penjinakan kolonial justru berbalik menjadi senjata pemersatu bangsa.
Warisan Sistem Kolonial Dalam Pendidikan Saat Ini
Meskipun zaman telah berubah, ketimpangan pendidikan masih menjadi warisan yang terasa hingga kini. Perbedaan kualitas antara sekolah kota dan desa, antara negeri dan swasta unggulan, mengingatkan kita pada sistem kasta pendidikan masa kolonial.
Pemerataan pendidikan tetap menjadi tantangan utama. Semangat seperti Taman Siswa harus terus dihidupkan agar pendidikan tak lagi jadi hak eksklusif, melainkan alat pembebasan sejati bagi seluruh rakyat. Manfaatkan juga waktu anda untuk mengeksplorasi lebih banyak lagi informasi seputar sejarah Indonesia lainnya hanya di ZONA INDONESIA.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari sanskertaonline.id
- Gambar Kedua dari kabartrenggalek.com