Kasus pelanggaran hak cipta yang melibatkan pencipta lagu Yoni Dores dan penyanyi dangdut Lesti Kejora tengah menjadi perhatian publik.

LMKN Angkat Suara Soal Pelanggaran Hak Cipta Yoni Dores dan Lesti Kejora

Yoni Dores melaporkan Lesti Kejora ke Polda Metro Jaya atas dugaan penggunaan lagu ciptaannya tanpa izin resmi. Laporan ini memicu diskusi lebih luas mengenai pentingnya pemahaman dan pelaksanaan hak cipta di industri musik Indonesia. Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Orat, pun akhirnya angkat suara mengenai hal ini.

Ia menegaskan posisi LMKN sebagai mediator yang siap membantu menyelesaikan sengketa secara damai. Di bawah ini akan membahas detail laporan, sikap LMKN, serta pentingnya pemahaman hak cipta dalam industri musik Indonesia.

tebak skor hadiah pulsabanner-free-jersey-timnas

Laporan Yoni Dores ke Polda Metro Jaya

Pada 18 Mei 2025, Yoni Dores secara resmi melaporkan Lesti Kejora ke Polda Metro Jaya Jakarta Selatan terkait dugaan pelanggaran hak cipta. Kuasa hukum Yoni, Ilham Suwardi, mengungkapkan bahwa Lesti diduga telah membawakan empat lagu ciptaan Yoni tanpa izin sejak tahun 2018.

Lagu-lagu tersebut antara lain “Cinta Bukanlah Kapal”, “Bagai Ranting yang Kering”, “Arjuna Buaya”, dan “Buaya Buntung”. Yoni mengklaim dirinya sebagai pencipta asli lagu-lagu tersebut dan memiliki dokumen resmi dari publisher PT ASKM sebagai bukti kepemilikan hak cipta.

Dalam laporannya, Yoni juga melampirkan bukti berupa flashdisk yang berisi rekaman, surat hak cipta. Serta tangkapan layar aktivitas penggunaan lagu yang diduga tanpa izin tersebut. Dugaan pelanggaran ini didasarkan pada Pasal 113 juncto Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Jika terbukti bersalah, Lesti dapat menghadapi ancaman hukuman penjara maksimal empat tahun atau denda hingga Rp1 miliar.

Sikap LMKN dan Pentingnya Izin Hak Cipta

Menanggapi laporan tersebut, Ketua LMKN Dharma Orat menilai tindakan hukum yang ditempuh Yoni adalah wajar dan merupakan hak pencipta lagu apabila merasa dirugikan. Dharma menjelaskan bahwa setiap pencipta lagu berhak mencari keadilan apabila terjadi pelanggaran hak cipta, terlebih jika upaya musyawarah tidak membuahkan hasil.

“Itu hak semua pihak untuk mencari keadilan. Jika musyawarah tidak membuahkan hasil, tentu bisa dilanjutkan lewat jalur hukum,” kata Dharma saat ditemui di kawasan Senayan, Jakarta Pusat pada Sabtu, 24 Mei 2025.

Selain itu, Dharma menegaskan bahwa proses hukum yang berjalan tidak menutup kemungkinan untuk penyelesaian damai melalui jalur restorative justice. LMKN siap menjadi mediator untuk memfasilitasi dialog antara Yoni Dores dan Lesti Kejora agar kedua belah pihak dapat menemukan titik temu yang saling menguntungkan.

“Musyawarah tetap penting dalam proses hukum. LMKN siap untuk memfasilitasi mediasi, baik jika diminta atau atas inisiatif sendiri,” ujar Dharma. Dalam hal ini, Dharma juga menekankan pentingnya izin resmi dari pemegang hak cipta atau ahli waris sebelum karya cipta digunakan.

Hal ini termasuk di komunitas kreatif seperti industri musik. “Pada dasarnya, setiap karya cipta hanya boleh digunakan dengan izin dari pemilik hak. Ketentuan ini tetap berlaku bahkan di lingkungan komunitas kreatif,” tegasnya.

Baca Juga: Shabrina Leanor Juara Indonesian Idol 2025, Disambut Dua Menteri

Memahami Jenis Hak Cipta di Industri Musik

Pelanggaran Hak Cipta Yoni Dores

Dharma Orat juga menjelaskan bahwa dalam industri musik, terdapat dua jenis hak cipta utama yang perlu dipahami baik oleh pencipta lagu maupun pengguna karya, yaitu performing rights (hak pertunjukan) dan mechanical rights (hak reproduksi). Pemahaman yang benar terhadap jenis hak cipta ini sangat krusial untuk menghindari pelanggaran.

Mechanical rights mengatur izin yang harus diberikan sebelum lagu dinyanyikan atau direkam ulang. Jadi, sebelum lagu tersebut dipakai dalam bentuk rekaman atau cover, harus ada izin dari pemegang hak cipta.

Sedangkan performing rights berhubungan dengan hak untuk menampilkan lagu di ruang publik, misalnya saat konser atau acara publik lainnya. Royalti atas penggunaan performing rights biasanya dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) seperti LMKN.

“Untuk mechanical rights, izin wajib diperoleh sebelum lagu dibawakan atau direkam. Sementara itu, performing rights berkaitan dengan penampilan lagu di ruang publik, di mana royalti harus disalurkan melalui LMK sesuai dengan ketentuan Undang-Undang,” jelas Dharma.

Dharma juga menyebutkan bahwa apabila ada kebutuhan untuk mengubah aturan main terkait hak cipta. Perubahan harus dilakukan melalui revisi hukum positif. Khususnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

“Jika ingin mengubah ketentuan yang ada, maka hal tersebut harus dilakukan melalui revisi terhadap hukum yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,” ujarnya.

Pelajaran Penting Bagi Industri Musik

Kasus yang menimpa Yoni Dores dan Lesti Kejora menjadi pelajaran penting bagi para pelaku industri musik, baik pencipta lagu maupun penyanyi maupun pelaku usaha di balik layar seperti label dan publisher. Kesadaran akan hak cipta dan perlunya izin resmi sangat vital untuk menjaga ekosistem kreatif yang sehat dan berkelanjutan.

Dalam dunia musik, pelanggaran hak cipta bukan hanya soal hukum, tapi juga masalah etika dan penghargaan terhadap karya intelektual orang lain. Hak cipta memberikan perlindungan kepada pencipta untuk mendapatkan pengakuan dan kompensasi atas karyanya. Dengan begitu, mereka dapat terus berkarya dan mengembangkan industri musik Indonesia.

LMKN sebagai lembaga yang mengelola hak cipta secara kolektif berperan penting dalam memfasilitasi pembayaran royalti serta mediasi sengketa hak cipta. Kehadiran LMKN diharapkan dapat menjadi jembatan antara pencipta dan pengguna karya untuk menjaga hak-hak dan kepentingan bersama.

Kesimpulan

Kasus pelanggaran hak cipta antara Yoni Dores dan Lesti Kejora yang tengah diproses di Polda Metro Jaya menjadi sorotan penting mengenai perlindungan hak cipta di industri musik Indonesia. Ketua LMKN Dharma Orat menegaskan bahwa langkah hukum yang ditempuh pencipta lagu adalah hal wajar sebagai bentuk pencarian keadilan. Namun, ia juga membuka peluang untuk penyelesaian damai melalui mediasi yang difasilitasi LMKN.

Pentingnya izin dari pemilik hak cipta sebelum menggunakan karya dan pemahaman yang tepat mengenai jenis hak cipta performing rights dan mechanical rights menjadi kunci utama untuk menghindari pelanggaran. Kasus ini sekaligus menjadi pengingat bagi seluruh pelaku musik agar lebih sadar dan taat pada aturan hak cipta demi kelangsungan industri kreatif yang sehat dan adil di Indonesia.

Simak dan ikuti terus ZONA INDONESIA agar Anda tidak ketinggalan informasi menarik lainnya setiap hari.


Sumber Informasi Gambar:

  1. Gambar Pertama dari sumsel.tribunnews.com
  2. Gambar Kedua dari www.merdeka.com