Pemilu pertama 1955 adalah awal demokrasi Indonesia melalui pemilu langsung, mencerminkan suara rakyat dalam memilih wakilnya secara terbuka.

Pemilu tahun 1955 bukan sekadar momentum politik, tetapi menjadi tonggak sejarah penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia memilih wakilnya secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. Berikut ZONA INDONESIA akan mengulas proses, makna, hingga warisan dari pemilu pertama tersebut melalui beberapa aspek penting.
Latar Belakang Pemilu 1955
Setelah kemerdekaan 1945, Indonesia belum memiliki lembaga perwakilan rakyat hasil pemilihan langsung. Selama sepuluh tahun, negara ini dipimpin oleh parlemen sementara yang belum memiliki legitimasi kuat dari rakyat. Situasi ini mendorong pemerintah untuk segera menyelenggarakan pemilu.
Pemilu dirancang sebagai bagian dari transisi menuju sistem demokrasi yang stabil. Selain memilih anggota DPR, pemilu 1955 juga bertujuan memilih anggota Konstituante yang bertugas merumuskan undang-undang dasar permanen pengganti UUDS 1950. Tujuannya adalah membentuk fondasi negara yang sah dan disepakati bersama.
Namun pelaksanaan pemilu tertunda berkali-kali karena situasi politik dan keamanan yang tidak stabil. Baru pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, pemilu dapat direalisasikan dengan membentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat (PPI) dan mulai menjalankan tahapan-tahapannya secara nasional.
Sistem Pemilu dan Peserta yang Terlibat
Pemilu 1955 menggunakan sistem proporsional terbuka, yang berarti partai mendapatkan kursi sesuai proporsi suara yang diperoleh secara nasional. Ini mencerminkan semangat keadilan representatif, di mana suara rakyat dari berbagai daerah tetap memiliki nilai yang sama di parlemen pusat.
Sebanyak 172 partai, organisasi massa, dan calon independen ikut serta dalam pemilu ini. Namun, hanya sekitar 28 partai yang berhasil memperoleh kursi di DPR. Empat partai utama yang unggul adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Keempatnya mewakili kekuatan politik nasionalis, Islam modernis, Islam tradisional, dan kiri progresif.
Peserta pemilu sangat beragam, mulai dari partai politik berbasis ideologi hingga ormas keagamaan. Hal ini menunjukkan betapa tingginya antusiasme rakyat dan lembaga dalam berpartisipasi menentukan arah masa depan bangsa. Meskipun banyak partai kecil yang tidak lolos ke DPR, semangat partisipasi tetap menjadi catatan penting.
Baca Juga: Sekolah Zaman Kolonial: Ketika Ilmu Milik Priyayi Dan Belanda
Proses Pelaksanaan dan Antusiasme Rakyat

Pemilu tahap pertama dilaksanakan pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR, lalu tahap kedua pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Proses ini diikuti oleh lebih dari 43 juta pemilih, dengan tingkat partisipasi mencapai 91%, angka yang sangat tinggi bahkan menurut standar pemilu modern.
Masyarakat menyambut pemilu dengan semangat luar biasa. Banyak yang berjalan kaki, menyeberangi sungai, dan menempuh medan sulit demi bisa memberikan suara. Pemilu ini menjadi bentuk nyata dari pendidikan politik rakyat setelah sekian lama terjajah dan tidak memiliki hak politik secara penuh.
Untuk memudahkan proses pemilihan, pemerintah menggunakan sistem gambar partai di kertas suara karena sebagian besar pemilih masih buta huruf. Simbol seperti banteng, pohon beringin, matahari, dan palu-arit digunakan agar pemilih bisa mengenali pilihan mereka dengan mudah. Sistem ini menunjukkan kreativitas dalam menyelenggarakan pemilu inklusif.
Hasil Pemilu dan Pembentukan Lembaga
Hasil pemilu menetapkan PNI sebagai pemenang dengan perolehan suara terbanyak, disusul Masyumi, NU, dan PKI. Komposisi DPR hasil pemilu mencerminkan keragaman ideologi yang berkembang di masyarakat Indonesia saat itu, dari nasionalis hingga agamis dan sosialis.
DPR hasil pemilu mulai bekerja tahun 1956, sedangkan Konstituante mulai bersidang tahun berikutnya. Meskipun kedua lembaga ini berfungsi sesuai peran masing-masing, Konstituante gagal menyusun UUD baru karena perbedaan pandangan ideologi di antara anggotanya.
Dekrit Presiden dan Berakhirnya Konstituante
Karena Konstituante tidak mencapai kesepakatan dalam merumuskan UUD baru, negara mengalami kebuntuan konstitusional. Situasi ini menjadi ancaman terhadap stabilitas politik nasional, terutama karena perdebatan ideologi makin memanas dan tidak kunjung usai.
Sebagai langkah tegas, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Melalui dekrit ini, Konstituante dibubarkan dan UUD 1945 kembali diberlakukan sebagai dasar negara. Sejak saat itu, sistem demokrasi parlementer pun digantikan oleh Demokrasi Terpimpin.
Warisan Demokrasi Pemilu Langsung 1955
Meski hasil pemilu 1955 tidak bertahan lama karena perubahan politik berikutnya, pemilu ini tetap menjadi warisan penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Rakyat merasakan untuk pertama kalinya memiliki suara dalam menentukan arah politik bangsa.
Pemilu 1955 juga menjadi standar moral dan teknis bagi pemilu-pemilu berikutnya. Prosesnya yang jujur, damai, dan partisipatif tetap dikenang sebagai pemilu paling demokratis sepanjang sejarah awal Republik Indonesia.
Manfaatkan juga waktu anda untuk mengeksplorasi lebih banyak lagi informasi seputar sejarah Indonesia lainnya hanya di ZONA INDONESIA.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari www.kompas.com
- Gambar Kedua dari kompaspedia.kompas.id